UNIVERSITAS GUNADARMA

Minggu, 29 April 2012

Perusahaan yang Melanggar Hukum Secara Etika dan Moral

BAB 1
PENDAHULUAN

            Dilihat dari sudut pandang ekonomis, bisnis adalah kegiatan ekonomis. Hal yang terjadi dalam kegiatan ini antara lain tukar menukar, jual beli, memproduksi memasarkan, dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Namun, perlu diingat pencarian keuntungan dalam kegiatan berbisnis tidak hanya sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi. Pada kenyataannya, banyak pelaku bisnis di Indonesia tidak memikirkan tentang hal tersebut. Mereka lebih cenderung untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kerugian pihak lain. Sebagai contoh, seseorang yang ingin menjual sepeda motornya kepada seorang pembeli. Penjual tersebut menjual dengan harga tinggi. Padahal, banyak kekurangan pada motor tersebut. Namun si penjual tidak mengatakan hal tersebut kepada pembelinya. Dia tidak peduli dengan kerugian yang akan ditanggung oleh si pembeli. Yang diinginkan penjual tersebut adalah mendapat banyak keuntungan. Hal ini hanya ada satu pihak yang diuntungkan, sedangkan yang lain dirugikan.


BAB 2
PEMBAHASAN

Pengertian Etika Bisnis

Pengertian etika sering kali disamakan dengan pengertian moral. Yang dimaksud ajaran moral adalah wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan ia bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika adalah pemikiran yang kritis dan mendasar mengenai ajaran moral. Oleh karena itu harus dibedakan dengan ajaran moral.

Etika harus dibedakan dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis ‘etiquette’ yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama manusia. Sementara itu, etika berasal dari bahasa Latin ‘ethos’ yang berarti falsafah moral dan dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.

Definisi etika bisnis sendiri sangat beraneka ragam tetapi memiliki satu pengertian yang sama, yaitu pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal dan secara ekonomi/sosial, dan penerapan norma dan moralitas ini menunjang maksud dan tujuan kegiatan bisnis (Muslich,1998:4). Ada juga yang mendefinisikan etika bisnis sebagai batasan-batasan sosial, ekonomi, dan hukum yang bersumber dari nilai-nilai moral masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan oleh perusahaan dalam setiap aktivitasnya (Amirullah & Imam Hardjanto, 2005).

Dari berbagai pendapat diatas, ada banyak pengertian tentang etika bisnis. Yang terpenting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana menempatkan etika pada kedudukan yang pantas di dunia bisnis. Tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma moral. Dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari dia selalu berusaha dalam kerangka ‘etis’, yaitu tidak merugikan siapapun secara moral.

Etika bisnis mempunyai prinsip-prinsip yang harus ditempuh oleh perusahaan untuk mencapai tujuannya dan harus dijadikan pedoman agar mempunyai standar baku yang mencegah timbulnya ketimpangan dalam memandang etika moral sebagai standar kerja atau operasional perusahaan, Muchlish (1998:31-33) mengemukakan prinsip-prinsip etika bisnis sebagai berikut :
  • Prinsip otonomi
Prinsip otonomi memandang bahwa perusahaan secara bebas memiliki wewenang sesuai dengan bidang yang dilakukan dan pelaksanaannya dengan visi dan misi yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil perusahaan harus diarahkan untuk pengembangan visi dan misi perusahaan yang berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan karyawan dan komunitasnya.
  • Prinsip kejujuran
Kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam mendukung keberhasilan perusahaan. Kejujuran harus diarahkan pada semua pihak, baik internal maupun eksternal perusahaan. Jika prinsip kejujuran ini dapat dipegang teguh oleh perusahaan, maka akan dapat meningkatkan kepercayaan dari lingkungan perusahaan tersebut.
  • Prinsip tidak berniat jahat
Prinsip ini ada hubungan erat dengan prinsip kejujuran. Penerapan prinsip kejujuran yang ketat akan mampu meredam niat jahat perusahaan itu.
  • Prinsip otonomi
Prinsip otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
  • Prinsip kejujuran
Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
  • Prinsip keadilan
Prinsip ini menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
  • Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle)
Pada prinsip ini, pebisnis dituntut agar menjalankan bisnis sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
  • Prinsip integritas moral
Terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan atau orang-orangnya maupun perusahaannya.

Etika bisnis dalam suatu perusahaan mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu bisnis yang kokoh dan kuat dan mempunyai daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan untuk menciptakan nilai yang tinggi.

Tolak ukur dalam etika bisnis adalah standar moral. Seorang pengusaha yang beretika selalu mempertimbangkan standar moral dalam mengambil keputusan, apakah keputusan ini dinilai baik atau buruk oleh masyarakat, apakah keputusan ini berdampak baik atau buruk bagi orang lain, atau apakah keputusan ini melanggar hukum.

Dalam menciptakan etika bisnis perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain  pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, mampu menyatakan hal yang benar, dan lain sebagainya.

Bentuk pelanggaran etika bisnis dalam kegiatan berbisnis di Indonesia

Mempraktekkan bisnis dengan etiket berarti mempraktekkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum — sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan dan kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain.

Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan.

Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral
Berikut adalah bentuk-bentuk pelanggaran etika bisnis dan contoh pelanggaran etika dalam kegiatan bisnis di Indonesia : 
  • Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
Contoh pelanggaran tersebut seperti sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak memberikan pesangon sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan X dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan terhadap hukum.  
  • Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar, sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid. Setelah didesak oleh banyak pihak, yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragam guru. Dalam kasus ini, pihak yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi. 
  • Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara otomotis dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola, dalam hal ini direktur, sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut. Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit 
  • Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Yogyakarta melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang tertarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangkatkan ke negara lain tujuan untuk bekerja.
  •  Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan properti ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya. Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah, karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah, sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan properti tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal. 
  • Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang 
  • Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang nasabah X dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat mengkategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.

Faktor-faktor pebisnis melakukan pelanggaran etika bisnis

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pebisnis dilatarbelakangi oleh berbagai hal. Salah satu hal tersebut adalah untuk mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan dampak buruk yang terjadi selanjutnya. Faktor lain yang membuat pebisnis melakukan pelanggaran antara lain :
  1. Banyaknya kompetitor baru dengan produk mereka yang lebih menarik
  2. Ingin menambah pangsa pasar
  3. Ingin menguasai pasar.
Dari ketiga faktor tersebut, faktor pertama adalah faktor yang memiliki pengaruh paling kuat. Untuk mempertahankan produk perusahaan tetap menjadi yang utama, dibuatlah iklan dengan sindiran-sindiran pada produk lain. Iklan dibuat hanya untuk mengunggulkann produk sendiri, tanpa ada keunggulan dari produk tersebut. Iklan hanya bertujuan untuk menjelek-jelekkan produk iklan lain.

Selain ketiga faktor tersebut, masih banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Gwynn Nettler dalam bukunya Lying, Cheating and Stealing memberikan kesimpulan tentang sebab-sebab seseorang berbuat curang, yaitu :
  1. Orang yang sering mengalami kegagalan cenderung sering melakukan kecurangan.
  2. Orang yang tidak disukai atau tidak menyukai dirinya sendiri cenderung menjadi pendusta.
  3. Orang yang hanya menuruti kata hatinya, bingung dan tidak dapat menangguhkan keinginan memuaskan hatinya, cenderung berbuat curang.
  4. Orang yang memiliki hati nurani (mempunyai rasa takut, prihatin dan rasa tersiksa) akan lebih mempunyai rasa melawan terhadap godaan untuk berbuat curang.
  5. Orang yang cerdas (intelligent) cenderung menjadi lebih jujur dari pada orang yang dungu (ignorant).
  6. Orang yang berkedudukan menengah atau tinggi cenderung menjadi lebih jujur.
  7. Kesempatan yang mudah untuk berbuat curang atau mencuri, akan mendorong orang melakukannya.
  8. Masing-masing individu mempunyai kebutuhan yang berbeda dan karena itu menempati tingkat yang berbeda, sehingga mudah tergerak untuk berbohong, berlaku curang atau menjadi pencuri.
  9. Kehendak berbohong, main curang dan mencuri akan meningkat apabila orang mendapat tekanan yang besar untuk mencapai tujuan yang dirasakannya sangat penting.
  10. Perjuangan untuk menyelamatkan nyawa mendorong untuk berlaku tidak jujur.

BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, ataupun larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.

Ada 4 kekuatan utama yang membentuk etika bisnis dan tanggung jawab sosial, yaitu kekuatan individual, oraganisasional, masyarakat, dan hukum. Setiap kekuatan ini tidak beroperasi dalam ruang hampa, tapi masing-masing berinteraksi dengan ketiga kekuatan lainnya, dan interaksi ini mempunyai pengaruh yang kuat baik terhadap kekuatan maupun arah dari masing-masing pengaruh.


Sumber:

Siapakah yang Merekomendasikan Halal?

BAB 1
PENDAHULUAN

Selama ini belum ada lembaga resmi yang mengeluarkan label halal. Kalaupun ada label halal, tapi itu lebih dicantumkan oleh produsen saja. Pernah ada kesepakan antara MUI dan DepKes bawha yang berwenang memberikan label halal itu adalah MUI, namun karena sifatnya yang lisan belum dituangkan dalam bentuk sertifikasi makanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Lagipula MUI tidak mempunyai kekuatan eksekusi (pelaksana) apabila ada pengusaha yang tidak mengurus label halal pada produknya.


BAB 2
PEMBAHASAN

Prof. Aisyah Girindra, dari LPPOM MUI mengatakan bahwa institusi ini hanya mengeluarkan sertifikat halal, tidak pada masalah label halal. Adapun pelabelan halal mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan. Produsen dapat mencantukan label halal pada produknya berdasarkan rekomendasi dari LPPOM MUI. Pada label dapat dituliskan nomor sertifikat yang telah dikeluarkan oleh LPPOM MUI.

Dalam ketentuan UUP, UUPK, dan KepMen menekankan adanya pencantuman label halal, namun sebelumnya ada syarat yang harus di tempuh oleh sebuah perusahaan produk pangan, yaitu dengan cara memperoleh sertifikat halal dengan cara mendaftarkan produknya untuk diaudit halal. Produsen dapat mencantukan label halal pada produknya berdasarkan rekomendasi dari LPPOM MUI. Pada label dapat dituliskan nomor sertifikat yang telah dikeluarkan oleh LPPOM MUI.

Kesadaran para pengusaha produk makanan maupun minuman untuk memperoleh sertifikat halal pada produknya lebih disebabkan pada realitas banyaknya konsumen umat Islam. Masalah ini yang selanjutnya memunculkan banyak pengusaha yang asal mencantumkan label halal, tanpa prosedur yang disyaratkan berdasarkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, kosmetika dan Makanan Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat LPPOM-MUI berdasarkan UUP dan Undang-undang UUPK. Legalisasi Halal yang berupa Sertifikat Halal terhadap suatu produk pangan bukan sekedar jaminan terhadap ketentraman konsumen, tetapi juga jaminan bahwa produknya akan semakin dibutuhkan oleh konsumen.

Untuk mendapatkan produk pangan yang halal, masyarakat sebagai konsumen membutuhkan perlindungan dari penguasa atau pemerintah. LPPOM MUI adalah lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama Islam yakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia. Selain itu, memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.

Lembaga ini didirikan atas keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan surat keputusan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 26 Jumadil Awal 1409 Hijriah atau 6 Januari 1989.

Kehalalan produk makanan, minuman, obat dan kosmetika perlu mendapat sertifikasi dari LPPOM MUI. Kehalalan produk pangan harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan yakni tidak mengandung bahan atau unsur pangan yang diharamkan oleh Islam seperti tercampur babi atau produk turunannya. Produk tersebut tidak menimbulkan dampak buruk bagi pemakainya karena Islam mengharamkan segala jenis pangan yang terbukti merusak kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung, terkecuali dalam keadaan darurat.

Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk setiap produk makanan dan minuman yang dijual kepada masyarakat sudah merupakan jaminan, sehingga di masyarakat tidak timbul kecurigaan dan tanda tanya terhadap kandungannya. Sertifikasi halal mutlak dibutuhkan untuk menghilangkan keraguan masyarakat akan kemungkinan adanya bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong yang tidak halal dalam suatu produk yang dijual.

Peran dari Pemerintah sangat penting terutama dalam melakukan pengawasan, hal ini tercantum dengan jelas baik dalam UUPK. Pengawasan dilakukan dengan cara yang tepat antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sehingga terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan menghindari dari tindak tanduk para pelaku usaha sekarang, yang masih sering mementingkan keuntungan pribadi  dengan memasang label yang tidak benar pada pangan yang dijualnya maupun dengan memberikan iklan yang menyesatkan masyarakat.



BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan surat keputusan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 26 Jumadil Awal 1409 Hijriah atau 6 Januari 1989. Kehalalan produk makanan, minuman, obat dan kosmetika perlu mendapat sertifikasi dari LPPOM MUI Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk setiap produk makanan dan minuman yang dijual kepada masyarakat sudah merupakan jaminan, sehingga di masyarakat tidak timbul kecurigaan dan tanda tanya terhadap kandungannya. Sertifikasi halal mutlak dibutuhkan untuk menghilangkan keraguan masyarakat akan kemungkinan adanya bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong yang tidak halal dalam suatu produk yang dijual.

Sumber:
  • http://www.halalmui.org/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=87&Itemid=357&lang=in

Label Halal dari Segi Hukum

BAB 1
PENDAHULUAN

Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya, tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam. 
 
 
BAB 2
PEMBAHASAN 
 
Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi, maka manusia tiba pada suatu masa untuk mencari yang terbaik didalam memenuhi kebutuhan hidup. Pengetahuan menuntun manusia untuk berbuat atau menciptakan produk yang tidak saja aman dari segi fisik, biologis, kimiawi tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan kepada Sang Maha Pencipta.

Kewajiban memberikan informasi yang benar dan jujur atas setiap produk yang dihasilkan oleh produsen atau pelaku usaha merupakan salah satu kewajiban utama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK). Pada prinsipnya UUPK lahir dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum bagi konsumen terhadap segala bentuk pelanggaran dari produsen atau pelaku usaha yang menimbulkan kerugian bagi konsumen termasuk bahaya atau kerugian yang mungkin timbul akibat belum memberikan informasi yang tepat. Berdasarkan UUPK, salah satu hak konsumen adalah berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Terjadinya perbuatan-perbuatan yang berakibat merugikan konsumen akibat penggunaan barang dan/atau jasa harus dihindari. Untuk itu, pemerintah memandang perlunya suatu perangkat hukum yang melindungi kepentingan konsumen, maka ditetapkanlah UUPK yang diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum didalam bidang perlindungan konsumen.

Penyelenggaraan suatu sistem perlindungan atas pangan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun masyarakat luas yang akan mengkonsumsi pangan tersebut sangat perlu untuk mencapai cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pemerintah menyadari perlunya landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran dan/atau perdagangan pangan. Undang-undang  Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang selanjutnya disingkat UUP yang lahir sebagai landasan hukum dan acuan bagi pengaturan pangan di Indonesia. Salah satu upaya untuk mencapai tertib pengaturan dibidang pangan maka terbitlah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No.82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal  pada Label Makanan.

Keamanan bahan pangan merupakan masalah yang kompleks dan merupakan Interaksi antara toksisitas mikrobiologis, kimiawi, status gizi, kehalalan dan ketentraman batin. Kesemuanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi sehingga faktor keamanan pangan dapat dikatakan sebagai suatu masalah yang dinamis seiring perkembangan peradaban manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Legalisasi halal terhadap setiap produk pangan sangat diperlukan demi terciptanya ketentraman batin masyarakat dalam memilih produk pangan yang dikehendaki. Dalam hal ini, pemerintah bertanggung jawab dalam pelaksanaan legalisasi halal, tidak terbatas pada pemberian instruksi kepada para pengusaha untuk memperoleh sertifikat halal pada produknya, tetapi perlu melalukan pengujian dan pengawasan terhadap setiap produk pangan yang beredar di seluruh wilayah negara kita. Disamping itu, pemerintah juga harus memberikan kebebasan kepada masyarakat dan instansi-instansi terkait, seperti lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi, untuk ikut mengawasi semua produk pangan yang beredar di masyarakat.

Peraturan tentang sertifikasi halal termaktub dalam Pada pasal 30 ayat 1 UUP disebutkan pada ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pada ayat 2 disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai; nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal, dan tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa. Pada ayat 3 diatur selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label makanan.

Sementara, pada UUPK pada pasal 8 ayat 1h disebutkan Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan ‘’halal’’ yang dicantumkan pada label. Sehingga jika terdapat produsen yang melanggar aturan tersebut maka dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 62 yang menyatakan; (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasa! 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Namun, jika produsen tidak mencantumkan label halal maka tidak terdapat sanksi yang melekat padanya.
                                                                                                     
Selanjutnya pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No.82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal  pada Label Makanan pada pasal 2 disebutkan pada label makanan dapat dicantumkan tulisan halal. Pada pasal 3 ayat 2 a disebutkan Produk Makanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) harus memenuhi persyaratan makanan halal berdasarkan hukum Islam.
 
 
BAB 3
PENUTUP 
Kesimpulan
Legalisasi halal terhadap setiap produk pangan sangat diperlukan demi terciptanya ketentraman batin masyarakat dalam memilih produk pangan yang dikehendaki. Dalam hal ini, pemerintah bertanggung jawab dalam pelaksanaan legalisasi halal, tidak terbatas pada pemberian instruksi kepada para pengusaha untuk memperoleh sertifikat halal pada produknya, tetapi perlu melalukan pengujian dan pengawasan terhadap setiap produk pangan yang beredar di seluruh wilayah negara kita. Disamping itu, pemerintah juga harus memberikan kebebasan kepada masyarakat dan instansi-instansi terkait, seperti lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi, untuk ikut mengawasi semua produk pangan yang beredar di masyarakat.

Sumber: 
  • xa.yimg.com/kq/groups/23999565/1235034230/.../BAB+III2.doc