UNIVERSITAS GUNADARMA

Sabtu, 28 April 2012

Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh parakonsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat inikonsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yangdianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. 

Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasankebijakan perlindungan konsumen di Indonesia yakni Pertama, Undang-Undang Dasar 1945,sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunannasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunannasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampumenumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakatIndonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa.

Berdasarkan pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa azas PerlindunganKonsumen adalah: 
  1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungankonsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 
  2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal danmemberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya danmelaksanakan kewajibannya secara adil. 
  3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelakuusaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
  4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dankeselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barangdan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 
  5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum danmemperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negaramenjamin kepastian hukum.
Hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha
Hak-hak konsumen telah diatur secara jelas dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, Namun,memang pada realitanya, terkadang konsumen seringkali berada pada posisi yang kurangmenguntungkan dan daya tawarnya lemah. Ini karena mereka belum memahami hak-hak merekadan terkadang sudah menganggap itu persoalan biasa saja. Untuk itu mesti di bangun gerakansecara massif antar elemen masyarakat yang care terhadap advokasi kepentingan konsumensehingga hak-hak konsumen dapat diperjuangkan.

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah:
  1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 
  2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebutsesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjika 
  3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 
  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan 
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasayang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya 
  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undang
Untuk itu, konsumen pun perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya. Sosialisasi perlindungankonsumen mesti di lakukan terutama untuk strata sosial menengah ke bawah, dengan asumsi bahwa untuk konsumen dari strata menengah ke bawah inilah yang lebih rentan terhadapmasalah-masalah yang memerlukan perlindungan konsumen akibat ketidakpahaman mereka.Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggiterhadap konsumen (wise consumerism). 
Untuk peningkatan kesadaran dan kewaspadaankonsumen, konsumen juga memiliki kewajiban untuk:
  1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
  2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
  3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
  4.  Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas. Pelaksanaan Undang-undang Perlindungan konsumen tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.


Oleh karena itu, dalam menjalankan usahanya pelaku usaha juga mempunyai beberapahak dan kewajiban seperti berikut:Hak pelaku usaha adalah:
  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dannilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 
  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 
  3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketakonsumen. 
  4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 
  5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah:
  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
  2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangdan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 
  4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkanketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 
  5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yangdiperdagangkan. 
  6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, memberikompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima ataudimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha 

Berkenaan dengan konsep pertanggungjawaban produk (product liability) dan pertanggungjawaban dalam bidang jasa (profesional liability), pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin produk maupun jasa yangditawarkan kepada konsumen memiliki standard mutu yang baik, tidakmenimbulkan dampak yang dapat merugikan bagi keselamatan dankesehatan konsumen, serta membuka akses bagi konsumen dalammemperoleh informasi secara benar dan jujur.
Realitas dilapangan masih banyak pelaku usaha yang nakal, denganmelakukan perbuatan yang tidak terpuji. Sebagai perbandingan berikuthasil survey YPKKI (Yayasan Pemberdayaan Konsumen KesehatanIndonesia) berkerjasama dengan majalah Human Health terhadap 42obat/jamu/suplemen penambah gairah pria yang paling banyak diminatikonsumen.

Pada garis besarnya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usahaterbagi atas 2 (dua) bagian, yaitu :
  1. Perbuatan yang berkenaan kegiatan produksi dan/atauperdagangan barang dan/atau jasa.
  2. Perbuatan yang berkenaan dengan penawaran, promosi, iklansuatu barang dan/atau jasa.
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
  1. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
  2. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
  3. Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
.
Mari kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
  1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
  3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
  4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
  7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
  8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
  9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
  10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi. 
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Bila kita perhatikan secara seksama, ketentuan ayat (4) tidak mengatur pelanggaran ayat (3). Ternyata untuk pelanggaran ayat (3), diatur melalui peraturan yang lebih spesifik. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku adagium lex specialis derogat lege generalis. Artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
Selanjutnya mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran. Ketentuan ini diatur di Pasal 9 – 16. Pada Pasal 9 pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
  1. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
  2. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
  3. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
  4. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
  5. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
  6. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
  7. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
  8. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
  9. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
  10. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
  11. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Salah satu yang lagi marak adalah kasus dendeng sapi yang setelah diteliti DNA-nya ternyata terbuat dari daging celeng (babi hutan). Hal ini melanggar ketentuan angka 3. Seolah-olah barang tersebut telah mendapat label halal dari MUI. Yang juga lagi marak adalah perang antar operator selular. Banyak yang saling merendahkan. Ada yang ngomong tarif gajah, tarif cumi, tarif setengah hati, dan lain-lain. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan angka 9.
Lalu pada ayat (2) dan (3) ditentukan bahwa:
(2)  Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Kemudian pada Pasal 10 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
  1. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa.
  2. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa.
  3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa.
  4. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
  5. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Yang ini juga sering kita lihat. Di atas display ada tulisan besar diskon 50%. Lalu konsumen melihat label harga. Rp. 50.000,-. Persepsi sebagian besar konsumen adalah harga tersebut belum dipotong diskon. Kecuali bila di label harga terdapat harga lain yang dicoret, maka konsumen sudah tahu mana yang harga diskon dan mana harga semula. Pelaku usaha yang hanya mencantumkan 1 harga, cenderung menipu konsumen. Konsumen yang jeli tentu akan bertanya apakah harga tersebut sudah dipotong diskon atau belum. Namun bagaimana bila konsumen tidak jeli?

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut, ”Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.“
 
Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:
  1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
  2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
  4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

SANKSI – SANKSI

Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
  • Ganti rugi dalam bentuk :
  1. Pengembalian uang
  2. Penggantian barang
  3. Perawatan kesehatan, dan/atau
  4. Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
  • Kurungan :
  1. Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
  2. Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian. Hukuman tambahan , antara lain :
  1. Pengumuman keputusan Hakim.
  2. Pencabuttan izin usaha.
  3. Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
  4. Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
  5. Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat.
 
Sumber:
  • http://www.scribd.com/doc/30732228/Makalah-Perlindungan-Konsumen
  • http://desinaya.blogspot.com/2011/03/sanksi-sanksi.html
  • http://www.scribd.com/doc/76619294/5/MATERI-KULIAH-VI-PERBUATAN-PERBUATAN-YANG-DILARANG-BAGI-PELAKU-USAHA
  • http://www.tunardy.com/perbuatan-yang-dilarang-bagi-pelaku-usaha-bagian-1/
  • http://www.tunardy.com/perbuatan-yang-dilarang-bagi-pelaku-usaha-bagian-2/


 

 


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar