UNIVERSITAS GUNADARMA

Kamis, 19 April 2012

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tentang Produk Makanan

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta pesatnya persaingan dunia perdagangan baik yang terjadi pada arus nasional maupun international. Telah membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap tuntutan adanya perlindungan konsumen dari pemakaian produk yang merugikan konsumen, (termasuk produk makanan yang cacat, yang secara khusus dalam penelitian ini mengenai makanan yang ada dalam kemasan/kaleng). Menghadapi kenyataan yang demikian, konsumen yang berada dalam posisi yang lemah secara ilmu maupun ekonomi, terlebih menyangkut proses produksi, selayaknya mendapatkan perlindungan baik secara sosial maupun hukum. 

Untuk itu dalam kontek hukum Perdata telah ada ketentuan yang menjembatani kepentingan konsumen dan produsen yakni dengan lahimya Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 disingkat UUPK yang telah diundangkan pada tanggal 20 April 1999 yang berisi (pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label). Dengan lahirnya Undang-undang tersebut, memberikan harapan yang positif bagi konsumen terutama dengan diaturnya berbagai ketentuan yang menyangkut perlindungan konsumen antara lain, hak dan kewajiban konsumen, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, tanggung jawab pelalcu usaha, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), penyelesaian sengketa dan yang lain adalah adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 

Selanjutnya, lebih spesifik diatur dalam Pasal 10 PP 69/1999 mengenai kewajiban produsen produk pangan untuk mencantumkan label halal pada makanan yang dikemas sebagai berikut:
  • Pasal 10 ayat (1) 
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.
  • Penjelasan Pasal 10 ayat (1) 
Pencantuman keterangan halal atau tulisan "halal" pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.

Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.
 
Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari mengonsumsi pangan yang tidak halal (haram).
 
Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.

Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP 69/1999 diancam dengan tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (2) yaitu;
  1. peringatan secara tertulis
  2. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran
  3. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia
  4. penghentian produksi untuk sementara waktu
  5. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan atau
  6. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
 Kesemuanya itu memberikan harapan untuk dapat terwujudnya beketjanya hukum dalam rangka memberikan perlindungan konsumen. Terutama dengan adanya hak gugat produk oleh konsumen terhadap produsen dari produk yang mereka terima. Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, memberikan 2 (dua) altematif penyelesaian sengketa konsumen dan produsen dengan melalui proses gugatan (pengaduan) ke badan peradilan umum (Pengadilan Negeri) maupun badan diluar peradilan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dengan adanya terobosan barn mengenai penyelesaian sengketa konsumen dengan produsen melalui jalur luar peradilan memberikan ruang gerak yang sangat supel dan luwes terutama dalam usaha menyelesaikan sengketa yang cepat, sederhana dan murah. 

Selanjutnya untuk mewujudkan bekerjanya hukum dalam perlindungan konsumen dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, keadaan konsumen, kebudayaan, perilaku menjalankan kegiatan usaha dan kontrol sosial. Disamping itu juga ada beberapa faktor hambatan yang mencakup konsumen, produsen dan pemerintah, kemudian dimensi lingkup penanganan suatu proses produk, juga aspek hukum serta faktor peradilan yang mampu memberikan rasa keadilan bagi konsumen. 


Sunmber:
  • http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3808/bagaimana-pengaturan-sertifikasi-halal-bagi-produk-makanan
  • http://eprints.undip.ac.id/13333/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar